• Kantor Pusat
  • Phone +62 21 3142981
  • Tanah Abang- Jakarta
  • Newyork Office
  • London Office
  • Tokyo Office
  • Phone +012 345 6789
  • Cargo Hub, NY 10012, USA
  • Phone +099 222 1111
  • Cargo Hub, LD 32614, UK
  • Phone +098 765 4321
  • Cargo Hub, Tokyo 32614, Japan
07 Apr

Pengadaan Bahan Baku pada Industri Farmasi – Supply Chain Indonesia


Oleh: Hasna Fauziyyah R.A.
Junior Researcher |
Supply Chain Indonesia

Bahan baku (raw material) merupakan bahan pokok untuk menghasilkan produk di dalam suatu perusahaan manufaktur. Perusahaan manufaktur memerlukan ketersediaan bahan baku tersebut untuk dapat melangsungkan aktivitas produksinya. Memperoleh bahan baku dilakukan melalui kegiatan pengadaan. Pengadaan bahan baku merupakan bagian dari aktivitas rantai pasok yang bertujuan untuk menjaga ketersediaan bahan baku dengan kualitas yang baik dan dapat diterima dengan tepat waktu.

Pengadaan bahan baku dilakukan dengan melihat ketersediaan bahan baku yang ada di dalam gudang. Jumlah bahan baku yang tersedia tidak boleh berlebihan ataupun kekurangan. Kelebihan bahan baku memberikan dampak negatif bagi perusahaan karena dapat meningkatkan pengeluaran biaya penyimpanan bahan baku dan dapat mengurangi kualitas bahan baku karena waktu penyimpanan yang terlalu lama. Kekurangan bahan baku juga memberikan dampak negatif, yaitu dapat berpotensi kehilangan pendapatan karena tidak mampu memenuhi permintaan pelanggan. Faktor yang memengaruhi pengadaan bahan baku meliputi jumlah permintaan pelanggan akan produk jadi, waktu tunggu dari pemesanan bahan baku sampai penerimaan pemesanan (lead time)[1], pemasok yang potensial, harga bahan baku dan regulasi pemerintahan[2].

Jika dilihat dari jumlah permintaan pelanggan, pengadaan yang dilakukan perusahaan farmasi dapat dipengaruhi oleh kondisi endemi yang terjadi di suatu wilayah. Guna memenuhi kebutuhan akan obat-obatan, ketersediaan bahan baku untuk dapat memproduksi obat harus terpenuhi. Sebagai contoh, bencana banjir pada suatu wilayah dikarenakan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti demam berdarah, penyakit kulit, masalah pencernaan, leptospirosis (demam banjir), hingga Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).[3] Masyarakat yang berada dalam lingkungan endemi membutuhkan pasokan obat-obatan yang dapat menunjang proses penyembuhan penyakit. Kebutuhan ini akan mendorong kegiatan pengadaan bahan baku pada industri farmasi untuk memenuhi  permintaan pelanggan.

Pengadaan bahan baku untuk mem-produksi obat termasuk ke dalam salah satu kegiatan kefarmasian, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 1, yakni pekerjaan kefarmasian adalah pem-buatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan bahan tradisional. [4]

Sediaan farmasi dapat berupa obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.[5] Bahan baku yang digunakan untuk membuat sediaan farmasi memiliki sifat fisika dan kimia yang beragam. Hal ini dapat menyebabkan bahan baku mengalami perubahan pada bentuk, warna, bau, tekstur, hingga kadar zat aktif karena pengaruh intensitas cahaya, suhu, kelembapan dan bahan tempat menyimpan bahan baku. Perubahan sifat fisika dan kimia bahan baku sediaan farmasi dapat berpengaruh pada kualitas sediaan farmasi. Penanganan bahan baku yang baik dapat mencegah perubahan tersebut, sehingga kualitas dan keamanan sediaan farmasi dapat terjamin dengan baik.

Sebagai salah satu produk sediaan farmasi, obat dibagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan kekerasan efek yang akan ditimbulkan setelah pemakaian. Berdasarkan Permenkes No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi pasal 1 bagian 3, obat digolongkan ke dalam 5 golongan, yaitu obat bebas, bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika.[6]

Berikut ini penjelasan mengenai obat bebas, bebas terbatas, obat keras[7]; serta narkotika dan psikotropika[8].

  1. Obat Bebas
    Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter atau bisa disebut sebagai pelayanan HV (Hand Verkoop). Obat bebas dijual di warung, apotek dan toko obat berizin. Kemasan obat bebas ditandai dengan logo lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
  2. Obat Bebas Terbatas
    Sesuai dengan namanya, obat bebas terbatas dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dari dokter. Akan tetapi, penggunaan obat ini sangat dibatasi karena mengandung obat keras, sehingga dicantumkan tanda peringatan pemakaian pada kemasan. Logo obat bebas terbatas berbentuk lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam.
  3. Obat Keras
    Obat keras adalah golongan obat yang hanya dapat dibeli dan digunakan dengan resep dokter atau bisa disebut sebagai pelayanan prescription. Obat keras hanya tersedia di apotek, dan tidak dapat dijual di toko obat berizin. Diberi nama golongan obat keras karena obat keras dapat memiliki efek samping yang berbahaya jika tidak digunakan sesuai dengan aturan pakai dan dosis yang tepat.
  4. Psikotropika
    Psikotropika adalah zat atau obat yang bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susuan syaraf pusat sehingga menimbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.
  5. Narkotika
    Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai meng-hilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Satu-satunya perusahaan farmasi di Indonesia yang memiliki izin untuk dapat memproduksi obat golongan narkotika adalah PT Kimia Farma.[9]

Berdasarkan paparan penggolongan obat di atas, produksi obat pada perusahaan farmasi memiliki tingkat pengawasan yang berbeda. Produksi obat narkotika dan psikotropika sangat diawasi oleh Kementerian Kesehatan. Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi obat golongan narkotika dan psikotropika disebut dengan prekursor farmasi. Prekursor farmasi adalah adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/ phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau kalium permanganat.[10]

Pengadaan bahan baku prekursor untuk membuat sediaan obat golongan narkotika dan psikotropika diatur dalam Permenkes No. 5 Tahun 2023 tentang Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, bahwa:

  1. Pengadaan prekursor farmasi dilakukan melalui produksi dalam negeri dan impor
  2. Dalam pengadaan prekursor farmasi, terdapat alat-alat potensial yang dapat disalahkan untuk melakukan tindak pidana, yaitu berupa jarum suntik, spuit, pipa pemadatan, dan anhidrida asam asetat
  3. Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan terhadap alat-alat potensial untuk melakukan tindak pidana narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.[11]

Pengawasan pengadaan prekursor farmasi sangat dijaga oleh Kemen-terian Kesehatan dan Badan Pe-ngawas Obat dan Makanan dengan tujuan untuk memastikan bahwa pengadaan prekursor farmasi dapat diolah, disalurkan dan digunakan secara tepat sehingga mencegah penyalahgunaan pemakaian obat. Hal ini dapat diimplementasikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, bahwa pengadaan merupakan salah satu bagian dari pekerjaan kefarmasian yang harus dilakukan dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, dengan tujuan agar pengadaan bahan baku dapat dilakukan sesuai prosedur.

Selain kualifikasi tenaga ahli dalam melakukan pengadaan bahan baku sediaan farmasi, pemilihan pemasok bahan baku sediaan farmasi juga perlu diperhatikan. Pemasok bahan baku sediaan farmasi harus mampu menjaga kualitas bahan baku tetap baik sampai diterima kepada pelanggan. Pemilihan pemasok yang tepat dapat mengurangi biaya pengujian ulang (retest) bahan baku yang dapat diakibatkan karena terdapat perubahan bentuk, warna, atau bau setelah melalui pengujian organoleptik.

[1] Tesha, A. (2011). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persediaan Bahan Baku (tbs) pada PT Ramajaya Pramukti Tapung Riau

[2] Scaleocean.com (2024). 5 Faktor Permintaan dan Penawaran yang Perlu Diketahui, diakses pada 26 Maret 2024 melalui https://scaleocean.com/blog/belajar-bisnis/faktor-permintaan-dan-penawaran

[3]  Kemenkes RI (2022). Waspadai Penyakit Pasca Banjir, diakses pada 26 Maret 2024 melalui https://pusatkrisis.kemkes.go.id/inilah-macam-macam-penyakit-pasca-banjir.

[4]  Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

[5]  Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diakses melalui https://peraturan.bpk.go.id/Details/38778/uu-no-36-tahun-2009

[6] Skentarasurabaya.sch.id (2021). Pengoolongan Obat Berdasarkan Label pada Kemasan, diakses melalui https://www.skentarasurabaya.sch.id/artikel/detail/156550/penggolongan-obat-berdasarkan-label-pada-kemasan–yang-wajib-kamu-ketahui/

[7] Kesehatan.jogjakota.go.id (2020). Penandaan Kemasan Obat Berdasarkan Golongan Obat. Diakses melalui https://kesehatan.jogjakota.go.id/berita/id/205/penandaan-kemasan-obat-berdasarkan-golongan-obat/

[8] Permenkes RI No. 5 Tahun 2023 tentang Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, diakses melalui https://peraturan.bpk.go.id/Details/245565/permenkes-no-5-tahun-2023

[9] Kimiafarma.co.id. Fasilitas Produksi PT Kimia Farma, Tbk. Plant Jakarta, DKI Jakarta. Diakses melalui https://www.kimiafarma.co.id/id/pabrik

[10] Permenkes RI No. 5 Tahun 2023. op.cit., Hlm 4

[11] Permenkes RI No. 5 Tahun 2023. op.cit., Hlm 4

*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia

Download artikel ini:

  SCI – Artikel Pengadaan Bahan Baku pada Industri Farmasi (344.5 KiB, 13 hits)

Komentar

comments