
Oleh: Zaroni
Senior Consultant
Supply Chain Indonesia
Bayangkan sebuah produk fesyen yang baru saja viral di media sosial. Permintaan melonjak tajam, tapi toko-toko tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar. Akibatnya, peluang emas berubah jadi kekecewaan pelanggan. Inilah persoalan klasik supply chain: bagaimana menghubungkan produk dengan konsumen dengan cepat, tepat, dan efisien.
Bagi perusahaan global, supply chain bukan lagi urusan gudang dan logistik semata. Ia kini adalah “senjata strategis”. Apple, Zara, Unilever, hingga Amazon sudah membuktikan: kehebatan supply chain bisa membuat perusahaan melesat, sementara kelemahannya bisa jadi bumerang.
Fisher Model: Efisien atau Responsif?
Supply chain tidak lagi sekadar soal distribusi barang dari pabrik ke pasar. Dalam era ketidakpastian, kecepatan inovasi, dan tekanan biaya, perusahaan dituntut menemukan strategi rantai pasok yang sesuai dengan karakteristik produk dan dinamika pasar. Salah satu kerangka kerja yang paling relevan untuk menjawab tantangan ini adalah Model Fisher.
Marshall Fisher membagi produk menjadi dua kategori utama:
- Produk fungsional: permintaan relatif stabil, siklus hidup panjang, margin tipis, persaingan berbasis harga. Contoh nyata ada pada kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, atau semen. Untuk jenis ini, perusahaan harus mengejar supply chain efisien, menekan biaya logistik, mengoptimalkan inventory, dan menjaga kestabilan pasokan.
- Produk inovatif: memiliki siklus hidup pendek, permintaan sulit diprediksi, margin besar, dan sangat bergantung pada tren. Contohnya smartphone terbaru, fashion musiman, hingga gadget elektronik. Di sini, strategi supply chain harus responsif, dengan fokus pada fleksibilitas, time-to-market yang cepat, dan kemampuan membaca tren pasar secara real time.
Banyak perusahaan gagal karena salah memadukan strategi supply chain dengan karakteristik produknya. Menggunakan supply chain efisien untuk produk inovatif → berisiko stockout, kehilangan peluang pasar, bahkan mengikis brand image.
Menerapkan supply chain responsif untuk produk fungsional → menggelembungkan biaya operasional, margin makin tertekan. Kuncinya adalah kecocokan (strategic fit): strategi supply chain harus selaras dengan sifat produknya.
Dalam praktiknya, banyak perusahaan memiliki portofolio produk campuran. Industri otomotif misalnya, memproduksi kendaraan standar (fungsional) sekaligus edisi terbatas (inovatif).
Solusinya adalah hybrid supply chain: menggabungkan efisiensi untuk lini produk massal, sekaligus menjaga fleksibilitas untuk produk premium atau edisi khusus.
Bagi perusahaan di Indonesia, Model Fisher memberikan pelajaran penting:
- Lakukan segmentasi produk berdasarkan karakteristik demand.
- Rancang strategi supply chain berbeda untuk setiap segmen produk.
- Investasikan teknologi digital (AI, IoT, big data) agar demand sensing lebih akurat dan keputusan supply chain bisa cepat.
- Bangun kemitraan strategis dengan pemasok dan distributor agar rantai pasok lebih adaptif terhadap perubahan pasar.
Porter dan Value Chain
Michael Porter memperkenalkan konsep Value Chain untuk memahami bagaimana perusahaan menciptakan nilai (value creation) melalui aktivitas internalnya. Model ini membagi aktivitas perusahaan menjadi:
Primary activities: inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing & sales, dan services.
Support activities: firm infrastructure, human resource management, technology development, dan procurement.
Dalam konteks supply chain, model ini sangat relevan karena hampir seluruh primary activities terkait langsung dengan aliran material, informasi, dan produk dari hulu ke hilir.
Michael Porter jauh sebelumnya sudah mengingatkan, rantai nilai adalah fondasi strategi bersaing. Supply chain ada di jantung value chain, memastikan setiap aktivitas dari logistik, operasi, distribusi hingga layanan purna jual benar-benar menciptakan nilai tambah.
Perusahaan yang mengabaikan supply chain sama saja membiarkan “urat nadi” bisnisnya tersumbat.
Penerapan Model Value Chain Porter dalam supply chain menegaskan bahwa rantai pasok bukan sekadar jalur logistik, tetapi merupakan sistem penciptaan nilai. Dengan menganalisis setiap aktivitas dalam value chain, perusahaan dapat:
- Menekan biaya operasional,
- Meningkatkan keunggulan diferensiasi,
- Menghadirkan supply chain yang lebih responsif, efisien, dan bernilai bagi pelanggan.
Globalisasi dan Dilema Offshoring – Reshoring
Setelah tiga dekade perusahaan dunia berlomba melakukan offshoring ke negara dengan biaya rendah, kini tren reshoring kembali mencuat. Pandemi COVID-19, perang dagang, hingga krisis geopolitik mendorong perusahaan menata ulang strategi rantai pasoknya.
Kini muncul tren nearshoring (mendekatkan produksi ke pasar utama) dan bahkan reshoring (membawa pulang pabrik ke negara asal).
- Otomotif AS merelokasi produksi ke Meksiko.
- Produsen elektronik Eropa mulai melirik Polandia dan Turki.
Pertanyaan strategis bagi eksekutif: mana yang lebih penting, efisiensi biaya atau ketahanan rantai pasok?
Offshoring adalah praktik memindahkan proses produksi atau layanan ke luar negeri untuk mendapatkan biaya produksi lebih rendah, tenaga kerja murah, atau akses pasar baru. Contoh: Industri elektronik (Apple, Dell) yang banyak memproduksi di Tiongkok. Garment dan tekstil Indonesia yang memindahkan sebagian produksi ke Vietnam atau Bangladesh untuk menekan biaya.
Reshoring adalah kebalikan dari offshoring, yaitu membawa kembali aktivitas produksi ke negara asal atau lokasi yang lebih dekat dengan pasar utama. Contoh: Toyota dan beberapa OEM otomotif memindahkan sebagian rantai pasok dari Tiongkok ke Jepang/ASEAN. Perusahaan farmasi Eropa memproduksi kembali bahan baku obat (API) di negara asal.
Reshoring menjadi peluang: banyak perusahaan asing mencari basis produksi alternatif di Asia Tenggara (China+1 strategy). Indonesia bisa menjadi tujuan dengan keunggulan pasar domestik besar dan sumber daya melimpah. Regulasi TKDN dan insentif industri 4.0 dapat menarik investasi reshoring ke dalam negeri.
Kolaborasi: CPFR dan VMI
Dalam ekosistem bisnis yang makin kompetitif, VMI dan CPFR bukan sekadar metode, tetapi strategi kolaborasi. Perusahaan yang berani berbagi data, membangun kepercayaan, dan menyelaraskan perencanaan dengan mitra supply chain akan memenangkan pasar, bukan hanya di level harga tapi juga di kecepatan, ketepatan, dan layanan pelanggan.
SCM modern bukan lagi soal “menekan supplier”, melainkan berkolaborasi.
- Vendor Managed Inventory (VMI): pemasok yang mengelola stok langsung di retailer.
- Collaborative Planning, Forecasting, and Replenishment (CPFR): produsen dan retailer berbagi data penjualan untuk perencanaan bersama.
Dalam VMI, pemasok bertanggung jawab memantau dan mengisi kembali stok barang di gudang atau toko pelanggan berdasarkan data penjualan aktual. Manfaat VMI: mengurangi risiko stockout, menekan biaya inventory, memperkuat hubungan pemasok–retailer. Contoh: FMCG seperti Unilever dan Indofood menggunakan VMI dengan jaringan distributor untuk memastikan produk selalu tersedia di rak.
CPFR membawa kolaborasi lebih jauh: produsen dan retailer bersama-sama menyusun perencanaan, forecasting permintaan, dan replenishment. Manfaat CPFR: demand forecast lebih akurat, supply chain lebih responsif, lead time lebih singkat. Contoh: ritel modern (Alfamart, Indomaret) mulai menerapkan CPFR dengan produsen besar untuk mengantisipasi lonjakan permintaan musiman.
Lean, Agile, dan Leagile
Tiga pendekatan utama yaitu Lean, Agile, dan Leagile menjadi kerangka penting dalam merancang strategi rantai pasok yang kompetitif.
Pendekatan lean fokus pada eliminasi pemborosan, optimasi proses, dan biaya rendah. Cocok untuk produk fungsional dengan permintaan stabil dan margin tipis, seperti FMCG atau semen. Kunci sukses: perencanaan akurat, inventory minim, dan standar operasional ketat.
Strategi agile menekankan kecepatan merespons pasar, fleksibilitas produksi, dan kemampuan adaptif terhadap permintaan yang fluktuatif. Ideal untuk produk inovatif atau musiman, seperti fashion dan elektronik.
Kunci sukses: demand sensing real time, kolaborasi erat dengan pemasok, dan kemampuan make-to-order.
Leagile menggabungkan keunggulan lean dan agile. Produksi hulu didesain efisien, sementara hilir fleksibel merespons permintaan. Cocok bagi perusahaan dengan portofolio produk campuran atau lead time yang bervariasi, seperti otomotif dan elektronik konsumen. Kunci sukses: decoupling point yang jelas antara proses lean dan agile.
Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua. Lean memberikan efisiensi, Agile memberi kecepatan, sementara Leagile menawarkan keseimbangan keduanya. Perusahaan yang mampu menyesuaikan strategi supply chain dengan karakteristik produk dan pasar akan lebih tangguh menghadapi disrupsi dan persaingan global.
Referensi
Porter, M. E. (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press.
Christopher, M. (2016). Logistics & Supply Chain Management (5th ed.). Pearson Education.Chopra, S., & Meindl, P. (2022).
Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operation (8th ed.). Pearson.
Deloitte (2021). The Value Chain of the Future: Supply Chain as a Driver of Competitive Advantage. Deloitte Insights.
Accenture (2022). Supply Chain for Growth: Building Resilient and Value-Driven Operations. Accenture Research.
Referensi
Porter, M. E. (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press.
Christopher, M. (2016). Logistics & Supply Chain Management (5th ed.). Pearson Education.Chopra, S., & Meindl, P. (2022).
Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operation (8th ed.). Pearson.
Deloitte (2021). The Value Chain of the Future: Supply Chain as a Driver of Competitive Advantage. Deloitte Insights.
Accenture (2022). Supply Chain for Growth: Building Resilient and Value-Driven Operations. Accenture Research.
*****
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI – Artikel Mengenal Model-model Strategi Supply Chain (310.5 KiB, 10 hits)