
Oleh: Zaroni
Senior Consultant
Supply Chain Indonesia
Bencana selalu datang tiba-tiba. Jalan raya yang biasanya ramai bisa berubah menjadi puing-puing, bandara yang biasanya sibuk bisa lumpuh oleh retakan di landasan, dan gudang penuh logistik bisa menjadi sia-sia karena tidak ada jalur distribusi.
Dalam kondisi seperti itu, semua mata tertuju pada sosok pemimpin: siapa yang mengambil keputusan, siapa yang mengarahkan, siapa yang bertanggung jawab.
Kepemimpinan dalam manajemen logistik bencana bukan sekadar mengatur alur barang dari gudang ke pengungsi. Lebih jauh, ia adalah soal bagaimana membuat pilihan-pilihan yang menentukan hidup atau mati ribuan orang. Seorang pemimpin tidak punya kemewahan waktu untuk berdiskusi terlalu lama. Ia harus memutuskan dalam hitungan menit, dengan informasi yang sering kali minim, penuh ketidakpastian, dan kondisi yang berubah cepat.
Kecepatan dalam keputusan
Salah satu karakter paling penting dari kepemimpinan logistik bencana adalah keberanian mengambil keputusan cepat. Dalam bisnis, keterlambatan distribusi berarti kehilangan penjualan atau reputasi. Tetapi dalam bencana, keterlambatan bisa berarti kematian.

Di Palu 2018, misalnya, ribuan bantuan menumpuk di bandara karena tidak ada prioritas jelas siapa yang harus lebih dulu dikirim: makanan, obat-obatan, atau tenda. Kebingungan di lapangan membuat proses distribusi tersendat. Baru setelah ada keputusan tegas dari pimpinan operasi, prioritas ditetapkan, dan bantuan mulai mengalir ke titik-titik terdampak.
Pemimpin logistik yang efektif adalah mereka yang tidak ragu mengambil keputusan, meski informasi yang tersedia belum lengkap. Mereka paham bahwa setiap menit berarti, dan kadang lebih baik mengambil keputusan yang cukup baik sekarang daripada menunggu keputusan sempurna yang datang terlambat.
Kepemimpinan kolaboratif
Namun, kecepatan saja tidak cukup. Bencana adalah arena yang melibatkan banyak aktor: pemerintah, militer, polisi, NGO, komunitas lokal, hingga swasta. Semua punya sumber daya, semua punya kepentingan, dan semua ingin berkontribusi. Di sinilah peran kepemimpinan kolaboratif menjadi sangat penting.
Pemimpin logistik yang kolaboratif tahu bahwa ia tidak bisa bekerja sendirian. Ia harus mampu menyatukan berbagai pihak yang berbeda latar belakang dan budaya kerja. Seorang perwira TNI mungkin terbiasa dengan model komando yang tegas, sementara relawan NGO internasional terbiasa dengan diskusi konsensus. Pemimpin yang kolaboratif mampu menjembatani perbedaan itu, membangun kepercayaan, dan menciptakan ruang kerja sama.
Tanpa kepemimpinan semacam ini, yang muncul adalah ego sektoral: lembaga berjalan sendiri-sendiri, distribusi tumpang tindih, dan korban bencana menjadi pihak yang paling dirugikan.
Adaptif terhadap perubahan
Bencana adalah medan yang penuh dinamika. Rute yang kemarin bisa dilalui, hari ini bisa tertutup tanah longsor. Jumlah pengungsi yang tadinya seribu orang bisa melonjak menjadi sepuluh ribu dalam semalam. Kebutuhan di hari pertama adalah makanan, tetapi di minggu kedua bergeser menjadi tenda dan layanan kesehatan.
Dalam situasi seperti itu, kepemimpinan logistik harus adaptif. Pemimpin tidak boleh kaku dengan rencana awal. Ia harus mampu membaca perubahan cepat di lapangan dan menyesuaikan strategi. Seorang pemimpin adaptif tidak akan segan mengubah arah distribusi jika melihat ada desa yang lebih kritis. Ia berani mengubah prioritas meskipun itu berarti membatalkan rencana yang sudah disusun. Adaptif berarti luwes, tetapi tetap dengan tujuan yang jelas: menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa.
Komunikasi yang jernih
Di tengah situasi krisis, kebingungan sering kali lebih berbahaya daripada keterlambatan. Ketika informasi tidak jelas, rumor bisa menyebar, panik meningkat, dan koordinasi runtuh. Itulah mengapa kepemimpinan logistik bencana harus dilengkapi dengan kemampuan komunikasi yang jernih.
Pemimpin logistik yang efektif tahu bagaimana menyampaikan instruksi yang sederhana dan mudah dipahami. Ia juga mampu berkomunikasi ke berbagai lapisan: dari relawan di lapangan, pejabat pemerintah, hingga media massa. Komunikasi yang jernih membangun kepercayaan publik, meredam kepanikan, dan membuat semua aktor bergerak dalam arah yang sama.
Empati sebagai landasan
Ada satu hal yang sering dilupakan dalam kepemimpinan logistik: empati. Logistik memang identik dengan truk, kapal, gudang, dan distribusi barang. Tetapi pada dasarnya, logistik bencana adalah tentang manusia.
Seorang pemimpin yang empatik tidak hanya melihat angka stok, melainkan juga memahami penderitaan korban. Ia sadar bahwa di balik data “10 ribu pengungsi” ada wajah-wajah anak kecil yang lapar, lansia yang sakit, dan ibu hamil yang butuh perhatian. Empati inilah yang membuat pemimpin logistik lebih peka dalam membuat keputusan. Misalnya, ia tidak hanya mengirim beras dan mie instan, tetapi juga susu bayi dan kebutuhan khusus bagi kelompok rentan. Empati membuat logistik menjadi lebih manusiawi, bukan sekadar mekanis.
Tantangan kepemimpinan di Indonesia
Di Indonesia, kepemimpinan logistik bencana menghadapi tantangan besar. Ego sektoral sering membuat koordinasi tersendat. Lembaga pemerintah, militer, dan NGO kadang lebih sibuk menunjukkan eksistensi ketimbang menyatukan langkah. Kurangnya data real-time membuat pemimpin sulit membuat keputusan yang tepat. Birokrasi yang berbelit menunda pengiriman bantuan. Bahkan, politik dan pencitraan kadang ikut mempengaruhi prioritas distribusi.

Semua tantangan itu menuntut pemimpin yang tidak hanya tegas, tetapi juga visioner. Pemimpin yang mampu menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan institusional atau politik.
Pelajaran dari kasus nyata
- Tsunami Aceh 2004 adalah contoh bagaimana ketiadaan kepemimpinan terintegrasi menyebabkan kekacauan distribusi. Ribuan NGO datang, tetapi tanpa koordinasi, sehingga banyak bantuan salah sasaran. Dari sinilah lahir sistem klaster yang lebih terstruktur.
- Merapi 2010 memberikan pelajaran berbeda. Kepemimpinan lokal pesantren, tokoh masyarakat, karang taruna berhasil mengelola dapur umum dan shelter. Meskipun sederhana, kedekatan mereka dengan komunitas membuat distribusi berjalan lebih lancar.
- Palu 2018 kembali menunjukkan rapuhnya kepemimpinan. Bottleneck di bandara terjadi karena tidak ada prioritas jelas. Baru setelah BNPB dan TNI mengambil komando yang tegas, distribusi mulai tertata.
- COVID-19 menunjukkan kepemimpinan multi-level. Dari Presiden, menteri, gubernur, hingga kepala desa, semua berperan. Namun koordinasi pusat-daerah sering kali tidak sinkron, dan itu mempengaruhi distribusi bansos maupun vaksin.
Membangun kepemimpinan masa depan
Masa depan manajemen logistik bencana di Indonesia membutuhkan pemimpin yang melek digital. Mereka harus mampu membaca dashboard logistik real-time, memanfaatkan peta geospasial, dan mengambil keputusan berbasis big data. Mereka juga harus mampu menjaga transparansi dengan teknologi seperti blockchain agar publik percaya.
Namun, teknologi hanyalah alat. Inti dari kepemimpinan tetaplah karakter: keberanian dalam keputusan, kemampuan berkolaborasi, keluwesan dalam beradaptasi, komunikasi yang jelas, dan empati yang tulus.
Kepemimpinan dalam manajemen logistik bencana adalah faktor yang sering kali menentukan perbedaan antara kekacauan dan keteraturan, antara penderitaan berkepanjangan dan pemulihan yang cepat. Infrastruktur, gudang, dan sistem digital akan sia-sia tanpa pemimpin yang mampu menggerakkannya.
Indonesia butuh lebih banyak pemimpin logistik kemanusiaan di tingkat pusat, daerah, dan komunitas yang tidak hanya ahli dalam manajemen barang, tetapi juga paham bahwa logistik bencana adalah tentang manusia. Dengan kepemimpinan yang tangguh, gotong royong Nusantara bisa diubah menjadi sistem supply chain kemanusiaan yang efektif, cepat, transparan, dan penuh empati.
*****
Referensi
- Van Wassenhove, L. N. (2006). Humanitarian aid logistics: supply chain management in high gear. Journal of the Operational Research Society, 57(5), 475–489.
- Kovács, G., & Spens, K. M. (2009). Identifying challenges in humanitarian logistics. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 39(6), 506–528.
- Heaslip, G., & Barber, E. (2014). Using the military in disaster relief: systemising challenges and opportunities. Journal of Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, 4(1), 60–81.
- BNPB. (2020). Indeks Ketahanan Daerah (IKD). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
- Sphere Association. (2018). Sphere Handbook: Humanitarian Charter and Minimum
- Standards in Humanitarian Response. Geneva: Sphere.
*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.
Download artikel ini:
SCI – Artikel Kepemimpinan dalam Logistik Penanggulangan Bencana (362.5 KiB, 1 hits)